Pentingnya mitigasi risiko operasional perbankan

Pengendalian internal fraud harus menjadi upaya bersama Bank merupakan bisnis yang memiliki spek trum risiko yang luas.

Ada delapan jenis risiko yang dihadapi bank, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko stratejik, dan risiko kepatuhan.

 

okus utama pengendalian risiko selama ini lebih kepada risiko kredit dan risiko pasar, sedangkan risiko operasional kurang mendapatkan perhatian.

Risiko operasional kalau tidak ditangani secara serius dapat berdampak buruk terhadap nama baik bank bersangkutan, yang pada gilirannya akan memengaruhi penghimpunan dana nasabah dan keuntungan bank.

 

Mengacu pada Basel 2, risiko operasional merupakan risiko kerugian bank, baik langsung maupun tidak langsung, yang disebabkan oleh ketidaksesuaian atau kegagalan proses internal, manusia, sistem, dan peristiwa eksternal.

 

Berita kejahatan internal perbankan (internal fraud) yang kerap menjadi headline surat kabar juga salah satu bentuk dari risiko operasional.

 

INTERNAL FRAUD

 

 

Pertanyaannya adalah apa sebenarnya pemicu internal fraud ? Menurut teori segitiga kejahatan, fraud dipicu oleh tiga faktor yaitu kesempatan, tekanan/mo tif, dan justifikasi/pembenaran.

 

Dari tiga faktor itu, kesempatan merupakan faktor terpenting.

 

Pengawasan internal yang lemah membuka peluang sangat besar bagi pelaku kejahatan perbankan merealisasikan tindakannya. Contoh, kasus pembobolan dana nasabah prioritas di suatu

 

bank ternama sebesar Rp16,3 miliar, bisa dikatakan dipicu oleh lemahnya pengawasan internal.

Internal fraud yang melibatkan pengelola yang telah puluhan tahun bekerja di bank itu menunjukkan bahwa tidak ada jaminan lamanya bekerja menjadikan seseorang steril dari motif melakukan kejahatan.

 

Jadi, premis bahwa rasa me miliki dan loyalitas akan menghilangkan motif melakukan fraud ternyata tidak terbukti.

 

Kunci menghindari timbulnya fraud adalah ditutupnya rapatrapat pintu kesempatan melakukan kejahatan internal.

 

Faktor motif dan justifikasi berada di luar kontrol manajemen. Namun dengan semakin tertutupnya kesempatan, kedua faktor ini cenderung akan menghilang.

 

Internal fraud juga dapat timbul pada kegiatan penyaluran kredit dan jasa-jasa lain yang ditawarkan oleh bank seperti pemberian fasilitas kredit impor.

 

Pemalsuan dokumen penyaluran kredit oleh account officer se lain akan menaikkan jumlah kre dit macet (risiko kredit) juga da pat dipandang sebagai risiko operasional.

 

Dengan demikian antara risiko operasional dan risiko kredit me miliki keterkaitan yang erat. Im plikasinya, upaya untuk mengen dalikan risiko operasional juga dapat mengurangi risiko kredit.

 

Bagaimana langkah efektif yang dapat menekan timbulnya peluang kejahatan internal perbankan? Belum lama ini Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.13/28/DPNP, 9 Desember 2011 perihal Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum.

 

EMPAT PILAR

 

Berdasarkan surat edaran itu, bank wajib memiliki dan menerapkan strategi antifraud. Ada empat pilar yang merupakan inti dari sistem pengendalian fraud.

Pertama, pencegahan.

Kedua, deteksi.

Ketiga, investigasi, pelaporan dan sanksi. Keempat, pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut.

 

Beberapa upaya penting pada sisi pencegahan dan deteksi di antaranya dengan melakukan seleksi pejabat maupun pegawai yang tepat dan efektif, menumbuhkan kesadaran atau budaya kerja yang tidak toleran terhadap kejahatan.

 

Selain itu juga adanya rotasi pada posisi-posisi strategis dan rawan akan risiko internal fraud, perlunya melakukan inspeksi mendadak, dan mekanisme pelibatan karyawan untuk melaporkan tindakan yang dicurigai berpotensi menimbulkan fraud.

 

Esensi dari surat edaran tersebut adalah bahwa pengendalian internal fraud harus menjadi upaya bersama. Hal itu tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak manajemen, melainkan tanggung jawab seluruh karyawan di semua lini unit usaha bank.

 

Harus menjadi perhatian mu lai dari front office, middle office, hingga back office karena potensi timbulnya fraud dapat mun cul dari lini kerja yang berhubungan dengan transaksi kas dan juga transaksi penyaluran kredit.

Strategi yang mungkin belum diungkapkan secara eksplisit dalam surat edaran tersebut adalah bagaimana mencegah terjadinya kolusi antarkaryawan. Internal fraud melibatkan paling tidak dua karyawan dari unit kerja yang berbeda.

 

Dalam hal ini, teknologi dapat dimanfaatkan mencegah timbulnya kolusi antarkaryawan. Setiap transaksi yang sifatnya kas saat ini tidak cukup hanya dibuktikan oleh dokumen yang ditandatangani oleh nasabah, tetapi juga harus diperkuat oleh otorisasi secara elektronik oleh nasabah.

 

Banyak bank mensyaratkan otorisasi personal identification number (PIN) baik ketika nasabah menyetorkan dana maupun menarik dana dari rekening mereka dalam bentuk tunai maupun transfer.

Pengawasan internal Pada 2013 kemungkinan men jadi salah satu milestone (tahapan) dalam industri perbankan nasional. Pada tahun itu secara resmi fungsi pengawasan perbankan yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia akan beralih secara de facto kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

Pembentukan OJK merupakan pelaksanaan Pasal 34 UU No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan.

 

Salah satu harapan dari adanya pemisahan peran ini adalah agar pengawasan bank-bank dapat dilakukan secara lebih baik dan optimal, sehingga bisa menunjang terciptanya industri perbankan yang lebih sehat dan berkinerja lebih baik.

 

Akan tetapi, belajar Akan tetapi, belajar dari pengalaman, bank tidak dapat ber gantung pada institu si lain untuk melakukan penga wasan internal.

 

Apakah institusi itu BI atau OJK, tetap bank-bank sendirilah yang berperan paling utama mengelola risiko operaional.

 

Hal ini dikarenakan pihak manajemen banklah yang menentukan standar operasi, mengenal karyawan, menerapkan kebijakan sumber daya manusia, dan melakukan proses audit internal. Sederhananya, kesehatan bank dari aspek risiko operasional sangat bergantung pada pihak manajemen dan keterlibatan karyawannya.

 

Sebagai penutup, boleh dikatakan tidak mungkin bank mengeliminasi semua risiko. Karakteristik yang unik dari industri perbankan ialah risiko merupakan bagian dari bisnis bank itu sendiri.

 

Di sisi lain, bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan.

Ketidakoptimalan pengelolaan risiko akan menyebabkan nasabah kehilangan kepercayaan terhadap bank.

 

Pengelolaan risiko operasional intinya berupaya mengurangi kemungkinan terjadinya sesuatu yang salah pada sistem dan prosedur, melangsungkan mekanisme yang memungkinkan terdeteksinya potensi terjadinya internal fraud, dan menjalankan prosedur untuk mengelola akibat dari risiko operasional tersebut.

 

Garda terdepan untuk mencegah timbulnya peluang internal fraud kiranya terletak pada pengawasan internal yang kuat serta pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi.

 

*) Hermanto Siregar adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB & Tb Nur Ahmad  Maulana  Dosen MM IPB

 

www.koran.bisnis.com