PROSEDUR & SYARAT PEROLEHAN RAHASIA BANK (DATA NASABAH) DALAM TINDAK PIDANA UMUM
A. Pengertian Rahasia Bank
Sebelum membahas tentang syarat dan prosedur perolehan rahasia bank, di sini terlebih dahulu disimpulkan pengertian tentang rahasia bank itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan Peraturan Bank Indonesia No.:2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank (PBI). Dalam Pasal 1 angka 28 UU Perbankan dan Pasal 1 angka (6) PBI, disebutkan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Pasal 2 angka (2) PBI mempertegas bahwa keterangan mengenai nasabah selain Nasabah Penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup rahasia bank hanya mengenai keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya, bukan nasabah peminjam dan pinjamannya. Rahasia bank dapat berupa keterangan maupun data (dokumen). Faktual, pengertian, ruang lingkup, jangka waktu serta pihak yang wajib menjaga rahasia bank rahasia bank hingga kini masih menjadi perdebatan yang hingga kini satu sama lain mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Tulisan singkat ini tidak membahas mengenai perdebatan dimaksud. Untuk tidak membingungkan kalangan pembaca, dalam tulisan ini disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan dan/atau data nasabah penyimpan dan simpanannya. Misalnya, nama, alamat dan identitas, nomor rekening, saldo dan keterangan/data lain yang terkait dengan nasabah penyimpan dan simpanannya.
B. Syarat dan Prosedur Perolehan Rahasia Bank Dalam Tindak Pidana Umum
Tindak pidana umum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tindak pidana yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di luar pidana aduan dan pelanggaran. Seperti, penipuan, pemalsuan, penggelapan dan lain-lain sejenisnya. Dalam proses penyelesaian tindak pidana umum tentu diperlukan barang bukti, seperti bukti surat, keterangan tersangka dan saksi. Terkait dengan bukti-bukti tersebut dalam hubungan dengan penyelesaian tindak pidana umum yang terjadi di Bank, maka tentu kita dihadapkan pada ketentuan tentang rahasia bank.
Secara umum prosedur penyelesaian tindak pidana umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan demikian, sedianya ketentuan mengenai syarat dan prosedur perolehan rahasia bank dalam proses penyelesaian suatu tindak pidana mengacu pada KUHAP. Akan tetapi, karena ketentuan tentang syarat dan prosedur perolehan rahasia bank dalam hubungannya dengan penyelesaian suatu tindak pidana umum sudah diatur secara khusus dalam UU Perbankan dan PBI, maka aturan dalam KUHAP tersebut menjadi tidak berlaku (dikesampingkan). Hal ini sejalan dengan azas hukum yang menyatakan bahwa ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum.
Mengacu pada UU Perbankan dalam kaitannya dengan syarat dan prosedur rahasia bank, Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Ketentuan ini tersebut dipertegas kembali oleh Pasal 6 PBI yang menyatakan bahwa Izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia diberikan atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI atau Ketua Mahkamah Agung RI. Berdasarkan Pasal 11 PBI, Pimpinan Bank Indonesia yang dimaksud dalam hal ini adalah Gubernur Bank Indonesia, Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur begitu juga dengan pihak yang berwenang menandatangani penolakan atas permohonan rahasia bank dimaksud. Surat Permintaan Pimpinan Bank Indonesia dimaksud harus menyebutkan hal-hal tersebut di bawah ini:
Mengacu pada bunyi pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat dari perolehan rahasia bank untuk tindak pidana umu adalah;
Sedangkan rahasia bank yang diminta dapat berupa keterangan dan data, artinya bisa lisan atau dalam bentuk penyerahan dokumen atau berkas. Adapun mekanisme penyerahan rahasia bank tersebut dapat secara lisan untuk data nasabah yang bersifat keterangan dan secara fisik untuk data nasabah dalam bentuk berkas atau dokumen. Kemudian, syarat dan prosedur sebagaimana disebutkan di atas, tidak berlaku untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), korupsi, perpajakan dan apabila ada kuasa dari nasabah atau ahli waris dari nasabah yang sudah meninggal dunia.
Dalam praktek pembatasan perolehan rahasia bank hanya terhadap nasabah yang sudah berstatus tersangka atau terdakwa menjadi salah satu penghambat khususnya bagi bank dalam upaya menelusuri arus uang yang terjadi pada suatu tindak pidana. Ketentuan tersebut membatasi bank untuk menyampaikan kepada penyidik tentang rekening nasabah lain di luar tersangka dan terdakwa yang diduga menerima aliran uang dari suatu tindak pidana. Hal ini semestinya tidak menjadi kendala bilamana penyelesaian tindak pidana dimaksud didasarkan pada fakta dan bukti yang ada. Dengan kata lain, bilamana dalam suatu tindak pidana ada upaya penyamaran uang, baik dalam bentuk penempatan, penitipan, hibah, memindahkan dan menyembunyikan hasil tindak pidana, seharusnya tindak pidana tersebut merupakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan oleh karenanya harus diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang TPPU. Dalam kondisi yang demikian ini, tindak pidana yang bersangkutan sulit untuk diproses dan bagi bank susah untuk menelusuri aliran uang dalam tindak pidana yang bersangkutan.
Sebelum membahas tentang syarat dan prosedur perolehan rahasia bank, di sini terlebih dahulu disimpulkan pengertian tentang rahasia bank itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan Peraturan Bank Indonesia No.:2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank (PBI). Dalam Pasal 1 angka 28 UU Perbankan dan Pasal 1 angka (6) PBI, disebutkan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Pasal 2 angka (2) PBI mempertegas bahwa keterangan mengenai nasabah selain Nasabah Penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup rahasia bank hanya mengenai keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya, bukan nasabah peminjam dan pinjamannya. Rahasia bank dapat berupa keterangan maupun data (dokumen). Faktual, pengertian, ruang lingkup, jangka waktu serta pihak yang wajib menjaga rahasia bank rahasia bank hingga kini masih menjadi perdebatan yang hingga kini satu sama lain mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Tulisan singkat ini tidak membahas mengenai perdebatan dimaksud. Untuk tidak membingungkan kalangan pembaca, dalam tulisan ini disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan dan/atau data nasabah penyimpan dan simpanannya. Misalnya, nama, alamat dan identitas, nomor rekening, saldo dan keterangan/data lain yang terkait dengan nasabah penyimpan dan simpanannya.
B. Syarat dan Prosedur Perolehan Rahasia Bank Dalam Tindak Pidana Umum
Tindak pidana umum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tindak pidana yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di luar pidana aduan dan pelanggaran. Seperti, penipuan, pemalsuan, penggelapan dan lain-lain sejenisnya. Dalam proses penyelesaian tindak pidana umum tentu diperlukan barang bukti, seperti bukti surat, keterangan tersangka dan saksi. Terkait dengan bukti-bukti tersebut dalam hubungan dengan penyelesaian tindak pidana umum yang terjadi di Bank, maka tentu kita dihadapkan pada ketentuan tentang rahasia bank.
Secara umum prosedur penyelesaian tindak pidana umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan demikian, sedianya ketentuan mengenai syarat dan prosedur perolehan rahasia bank dalam proses penyelesaian suatu tindak pidana mengacu pada KUHAP. Akan tetapi, karena ketentuan tentang syarat dan prosedur perolehan rahasia bank dalam hubungannya dengan penyelesaian suatu tindak pidana umum sudah diatur secara khusus dalam UU Perbankan dan PBI, maka aturan dalam KUHAP tersebut menjadi tidak berlaku (dikesampingkan). Hal ini sejalan dengan azas hukum yang menyatakan bahwa ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum.
Mengacu pada UU Perbankan dalam kaitannya dengan syarat dan prosedur rahasia bank, Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Ketentuan ini tersebut dipertegas kembali oleh Pasal 6 PBI yang menyatakan bahwa Izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia diberikan atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI atau Ketua Mahkamah Agung RI. Berdasarkan Pasal 11 PBI, Pimpinan Bank Indonesia yang dimaksud dalam hal ini adalah Gubernur Bank Indonesia, Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur begitu juga dengan pihak yang berwenang menandatangani penolakan atas permohonan rahasia bank dimaksud. Surat Permintaan Pimpinan Bank Indonesia dimaksud harus menyebutkan hal-hal tersebut di bawah ini:
- Nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim;
- Nama tersangka atau terdakwa;
- Nama kantor bank tempat tersangka atau terdakwa mempunyai simpanan;
- Keterangan yang diminta;
- Alasan diperlukannya keterangan; dan
- Hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan
Mengacu pada bunyi pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat dari perolehan rahasia bank untuk tindak pidana umu adalah;
- Ada Surat Permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI atau Ketua Mahkamah Agung RI kepada Pimpinan Bank Indonesia yang ditindaklanjuti dengan Surat Permohonan Pimpinan Bank Indonesia kepada bank yang bersangkutan dengan menyebutkan dasar permohonan, identitas nasabah, jenis tindak pidana yang diduga dilakukan oleh nasabah yang bersangkutan dan jenis atau nama data nasabah yang diminta.
- Permohonan dari Bank Indonesia tersebut harus ditandatangani langsung oleh Pimpinan Bank Indonesia, Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur.
- Nasabah yang bersangkutan sudah berstatus tersangka atau terdakwa (bukan saksi).
- Ada surat permohonan dari penyidik yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI atau Ketua Mahkamah Agung RI.
- Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI atau Ketua Mahkamah Agung RI membuat surat permohonan pada Bank Indonesia dengan menyebutkan dasar hukum dan pertimbangannya.
- Pimpinan Bank Indonesia membuat surat permohonan tertulis pada bank yang bersangkutan dengan menyebutkan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas.
- Bank yang bersangkutan memberikan data nasabah yang dimaksud sesuai dengan apa yang dimintakan dalam surat permohonan Pimpinan Bank Indonesia.
- Bank yang bersangkutan meminta tanda terima secara tertulis dari penyidik.
Sedangkan rahasia bank yang diminta dapat berupa keterangan dan data, artinya bisa lisan atau dalam bentuk penyerahan dokumen atau berkas. Adapun mekanisme penyerahan rahasia bank tersebut dapat secara lisan untuk data nasabah yang bersifat keterangan dan secara fisik untuk data nasabah dalam bentuk berkas atau dokumen. Kemudian, syarat dan prosedur sebagaimana disebutkan di atas, tidak berlaku untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), korupsi, perpajakan dan apabila ada kuasa dari nasabah atau ahli waris dari nasabah yang sudah meninggal dunia.
Dalam praktek pembatasan perolehan rahasia bank hanya terhadap nasabah yang sudah berstatus tersangka atau terdakwa menjadi salah satu penghambat khususnya bagi bank dalam upaya menelusuri arus uang yang terjadi pada suatu tindak pidana. Ketentuan tersebut membatasi bank untuk menyampaikan kepada penyidik tentang rekening nasabah lain di luar tersangka dan terdakwa yang diduga menerima aliran uang dari suatu tindak pidana. Hal ini semestinya tidak menjadi kendala bilamana penyelesaian tindak pidana dimaksud didasarkan pada fakta dan bukti yang ada. Dengan kata lain, bilamana dalam suatu tindak pidana ada upaya penyamaran uang, baik dalam bentuk penempatan, penitipan, hibah, memindahkan dan menyembunyikan hasil tindak pidana, seharusnya tindak pidana tersebut merupakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan oleh karenanya harus diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang TPPU. Dalam kondisi yang demikian ini, tindak pidana yang bersangkutan sulit untuk diproses dan bagi bank susah untuk menelusuri aliran uang dalam tindak pidana yang bersangkutan.
Oleh: Suleman Batubara
source : http://www.orintonlawfirm.com
source : http://www.orintonlawfirm.com
Komentar
Posting Komentar